Seorang wanita yang sudah menikah selingkuh sampai dia hamil, Anaknya bernasab kepada siapa?

Baru-baru ini, berbagai media memberitakan banyak kasus perselingkuhan di kalangan artis di tanah air. Tentu ini bukan contoh yang baik bagi masyarakat.

Zina adalah perselingkuhan dalam suatu hubungan atau pernikahan dimana salah satu atau kedua belah pihak mengadakan hubungan romantis atau seksual dengan seseorang di luar hubungan tersebut. Selingkuh dapat memiliki efek emosional dan sosial yang menghancurkan, mengikis kepercayaan dan stabilitas suatu hubungan.

Perselingkuhan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: B. ketidakpuasan emosional atau seksual dalam suatu hubungan, kurangnya komunikasi dan keintiman antara pasangan, masalah kepercayaan atau perselingkuhan, atau frustrasi dan kelelahan dalam hubungan jangka panjang. Penting untuk diingat bahwa selingkuh adalah tindakan yang melanggar kontrak dan komitmen dalam suatu hubungan. Dalam banyak budaya dan agama, perselingkuhan dianggap sebagai pelanggaran standar moral dan etika.

Tidak jarang wanita yang sudah menikah berselingkuh. Pertanyaannya adalah: jika dia hamil dan melahirkan seorang anak, keturunan siapa yang akan diikuti oleh anaknya?

Mengutip Nuonline, Imam an-Nawawi, seorang ulama pemikiran Syafi'i menyatakan hal ini dalam salah satu bukunya. Jika seorang wanita yang sudah menikah menjadi hamil, yang juga dapat disebabkan oleh pria selain suaminya, maka anak tersebut diserahkan kepada suaminya saat lahir. 

وان اشتركا في وطئها في طهر فأتت بولد يمكن أن يكون منهما لحق الزوج لان الولد للفراش

Artinya, “Jika ada dua orang laki-laki (suami sah dan selingkuhan istri) yang bersama-sama menggaulinya (istri tersebut) dalam keadaan suci, kemudian si istri hamil (dan melahirkan) anak yang dimungkinkan anak itu berasal salah satu dari kedua laki-laki tadi, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami sahnya, sebab ada hadis, ‘Anak itu milik si empunya ranjang,’ (HR. al-Bukhari-Muslim).” (Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz XVII/410).

Disampaikannya, seorang perempuan yang sudah menikah alias sudah bersuami, kemudian hamil dan melahirkan, maka anaknya itu milik suaminya.

وَإِنْ كَانَتْ مُزَوَّجَةً فَالْوَلَدُ لِلزَّوْجِ

Artinya, “Jika si perempuan bersuami, (kemudian melahirkan anak), maka anak itu milik suaminya,” (Lihat: Hasyiyat Qalyubu wa ‘Umairah, juz III/17).

Ini berlaku untuk wanita yang sudah menikah. Lain halnya jika seorang wanita belum menikah atau sudah lama tidak bersuami, tetapi kemudian dihamili oleh seorang laki-laki, maka garis keturunan anak itu menjadi milik dia atau ibunya.

Demikian juga, jika seorang wanita yang tidak menikah dengan suami yang hamil, baik perawan atau janda, kemudian menikah dan usia kawinnya memenuhi usia kehamilan minimal, yaitu enam bulan, maka seorang anak dapat dilahirkan. diberikan kepada laki-laki yang menikahinya. 

Demikian seperti yang diungkap oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi.

إذا تزوج امرأة وهي وهو ممن يولد له ووطئها ولم يشاركه أحد في وطئها بشبهة ولا غيرها وأتت بولد لستة أشهر فصاعدا لحقه نسبه ولا يحل له نفيه

Artinya, “Jika seorang perempuan menikah, sementara dirinya dan laki-laki yang menikahinya termasuk orang yang sudah mampu memberi keturunan, juga tidak ada laki-laki lain yang menyertai laki-laki tersebut dalam mencampuri si perempuan tadi, baik secara syubhat maupun selain syubhat, hingga lahirlah seorang anak dengan usia kehamilan enam bulan atau lebih, maka dinasabkanlah anak itu kepada si laki-laki yang menikahinya tadi, dan tidak boleh si laki-laki menolaknya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, juz II/121).

Adapun yang menjadi landasan usia minimal kehamilan selama enam bulan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, adalah firman Allah dalam Al-Quran, “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan,” (QS. al-Ahqaf [46]: 15). (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz XVI/74).

Penjelasannya, usia kehamilan dan usia menyapih adalah tiga puluh bulan, sementara usia menyapih adalah dua tahun, sehingga kehamilan minimal adalah selama enam bulan. Berbeda lagi jika kehamilannya kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkan oleh si perempuan tadi, walaupun ada yang menikah, tetap tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya.

وإن أتت بولد لدون ستة أشهر من وقت العقد انتفى عنه من غير لعان

Artinya, “Jika si perempuan melahirkan anak, sementara kelahirannya kurang dari enam bulan sejak berlangsungnya akad, maka tertolaklah anak tersebut dari laki-laki yang menikahinya tanpa harus ada li’an.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, juz II/120).

Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari uraian singkat di atas:

1. Jika seorang wanita memiliki suami yang tidak setia sebelum hamil, anak tersebut diserahkan kepada suaminya yang sah.

2. Jika seorang wanita yang belum menikah hamil, kemudian menikah dengan seorang pria dan pada saat lahir usia kehamilan minimal enam bulan sejak awal akad, dan tidak ada pria lain dalam hubungannya, anaknya akan diserahkan kepada pria tersebut . yang menikahinya.

3. Jika seorang wanita yang belum menikah menjadi hamil, menikah dengan seorang pria dan usia kelahirannya kurang dari enam bulan setelah penandatanganan kontrak, anak tersebut tidak dapat diserahkan kepada seorang pria yang menikah dengan ibunya.

4. Usia kehamilan minimal enam bulan dan usia menyapih dua tahun. Inilah tafsir Ibnu Abbas dari Q.S. al-Ahqaf ayat 15, diadopsi oleh ulama Syafi'i. Wallahu A'lam. 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak